Pagi ini jakarta diguyur hujan cukup lebat. Tapi sepertinya hujan turun tak konsisten, sebentar lebat, sebentar ringan. Saat hujan berhenti, langit masih diselimuti awan kelabu. Sepertinya matahari tak bersemangat terbit hari ini, walau dia tak bersemangat, dia tetap terbit.
Pagi ini aku belajar satu hal. Senyum itu mungkin tak seramah dulu, tawa itu tak serenyah dulu, tapi itulah takdirnya. Apa yang harus aku tangisi lagi? Mungkinkah Allah mengambil orang yang dulu cukup dekat denganku karena dia cemburu? Apakah Allah ingin aku lebih dekat dengannya, agar aku lebih mengenal Dia lebih jauh, agar cukup bekalku karena waktuku tak lagi lama? Apa aku akan segera meninggalkan dunia ini? Apa Allah menyiapkan semua takdir ini, aku yang terbiasa sendiri, aku yang tak meninggalkan banyak kesan diantara mereka, karena Allah akan segera memanggilku. Apakah doaku bertahun-tahun lalu akan segera dikabulkan, agar Allah memanggilku, memelukku dengan pelukan hangatnya.
Yaa, semoga Allah memang akan mengabulkannya. 22 hari menuju hari kelahirannku, Apakah akan sampai aku di hari itu, atau lima hari sebelumnya, namaku telah bertambah gelar almh.
Siapa yang tahu hari esok, aku hanya berusaha melakukan yang terbaik hari ini.
Oya, 1 hal lagi yang aku pahami, ketika aku dilanda rasa sedih yang teramat sangat karena suatu perubahan atau satu rasa kehilangan yang teramat dalam karena kepergian sesuatu yang aku sukai, maka aku harus berpikir berulang kali, membandingkan ratusan kali berapa banyak Allah menganugerahiku momen-momen bahagia itu, berapa lama Allah mengizinkanku mengecap semua rasa bahagia itu, lalu sekarang aku mau bilang bahwa Allah tak adil ketika aku merasakan kesedihan teramat dalam karena rasa bahagia itu pergi. Padahal rasa sedih itu dan momen-momen bahagia itu baru pergi sekitar 1 bulan yang lalu. Keadaan itu berubah baru 1 bulan yang lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Sementara aku mengecap rasa bahagia itu hampir setengah tahun yang lalu. Apakah aku pantas mengutuk nama- Nya yang begitu agung, menyalahkan takdir yang telah ia tuliskan? Tidak, aku harus sabar.
Lapangkanlah dadaku menerima keputusan-Mu, Ya Allah. Segala puji bagi-Mu atas segala hal
Senin, 29 Februari 2016
Selasa, 23 Februari 2016
Sore ini, aku duduk di depan sebuah layar berbentuk persegi panjang, menuliskan sepenggal kisah yang aku tak pernah mengerti kemana arahnya. Apakah aku harus protes akan segala sesuatu yang terjadi. Apa aku harus protes dengan apapun yang menyakitkan hati?
Apakah aku harus menuntut sebuah kebersamaan? Apakah aku harus menuntut keterbukaan? Bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk menutup diri? Menghindari kebersamaan untuk menikmati kesendirian.
Bukankah aku selalu mengingatkan pada diriku setiap hari bahwa takdir Tuhan adalah yang terbaik? Bukankah setiap hari aku mengajari diriku untuk selalu berprasangka baik pada-Nya? Mengapa sekarang pertanyaan-pertanyaan menyesakkan itu kembali ke fikiranku. Mendesak hatiku untuk menangis.
Seorang bijak berkata padaku, kenangan - kenangan indah ataupun menyakitkan tak seharusnya dilupakan, Bukan melupakan yang jadi masalahnya, karena pada saat kita melupakan suatu hari nanti pasti akan tiba saat kita akan mengingat kenangan itu lagi. Yang terbaik adalah menerima. Jika aku bisa menerima maka aku bisa melupakan, tapi ketika aku tak bisa menerima aku tak akan pernah melupakan. Memeluk setiap kejadian yang terjadi, memeluknya erat. Mungkin awalnya sakit, tapi tak akan lagi sakit, ketika kita sudah terbiasa.
Apakah aku harus menuntut sebuah kebersamaan? Apakah aku harus menuntut keterbukaan? Bukankah aku sendiri yang memutuskan untuk menutup diri? Menghindari kebersamaan untuk menikmati kesendirian.
Bukankah aku selalu mengingatkan pada diriku setiap hari bahwa takdir Tuhan adalah yang terbaik? Bukankah setiap hari aku mengajari diriku untuk selalu berprasangka baik pada-Nya? Mengapa sekarang pertanyaan-pertanyaan menyesakkan itu kembali ke fikiranku. Mendesak hatiku untuk menangis.
Seorang bijak berkata padaku, kenangan - kenangan indah ataupun menyakitkan tak seharusnya dilupakan, Bukan melupakan yang jadi masalahnya, karena pada saat kita melupakan suatu hari nanti pasti akan tiba saat kita akan mengingat kenangan itu lagi. Yang terbaik adalah menerima. Jika aku bisa menerima maka aku bisa melupakan, tapi ketika aku tak bisa menerima aku tak akan pernah melupakan. Memeluk setiap kejadian yang terjadi, memeluknya erat. Mungkin awalnya sakit, tapi tak akan lagi sakit, ketika kita sudah terbiasa.
Kamis, 18 Februari 2016
Jika Allah maunya keadaan jadi begini, lalu aku bisa apalagi? Bukankah Allah penulis skenario terbaik, bukankah Dia Yang Maha Penyayang. Dia tak mungkin menyakiti ciptaan - Nya.
Jika Allah menuliskan skenario ceritanya begini, sekeras apapun aku berusaha mengubah takdirnya, tak akan mampu jika Dia tidak berkehendak.
Jika cerita tentang aku dan Fathia telah usai, mungkin memang skenarionya sudah selesai. Aku tak perlu lagi memaksa, merengek melalui isak tangisku. Toh semua sudah ditakdirkan. Apa aku harus memaksa dan meminta agar semua cerita indah itu kembali. Tidak.
Aku akan menerima apa yang telah Allah kehendaki, karena aku hanya manusia. Tak punya wewenang apa-apa. Aku tak pantas menyombongkan diri dengan meminta takdir yang begini, yang begitu, pikirku lebih baik jika aku terus menerus menjalani kisah yang sama, bercanda, tertawa dan berbagi apa saja dengan fathia. Tapi, Allah tahu yang lebih baik. Mungkin kisah itu sudah usai, aku harus beranjak, pikirku tak benar. Aku hanya manusia, tak pantas aku berkata, "Tuhan, takdirkan begini, pasti itu lebih baik". Hahaha, siapa aku? Hanya manusia yang bahkan untuk sekedar mengedipkan mata pun tak bisa bila Tuhan tidak mengizinkannya.
Sekarang, hari ini, mulai detik ini, kan kucamkan dalam hatiku, dalam pikiranku.
Jika Allah menuliskan skenario ceritanya begini, sekeras apapun aku berusaha mengubah takdirnya, tak akan mampu jika Dia tidak berkehendak.
Jika cerita tentang aku dan Fathia telah usai, mungkin memang skenarionya sudah selesai. Aku tak perlu lagi memaksa, merengek melalui isak tangisku. Toh semua sudah ditakdirkan. Apa aku harus memaksa dan meminta agar semua cerita indah itu kembali. Tidak.
Aku akan menerima apa yang telah Allah kehendaki, karena aku hanya manusia. Tak punya wewenang apa-apa. Aku tak pantas menyombongkan diri dengan meminta takdir yang begini, yang begitu, pikirku lebih baik jika aku terus menerus menjalani kisah yang sama, bercanda, tertawa dan berbagi apa saja dengan fathia. Tapi, Allah tahu yang lebih baik. Mungkin kisah itu sudah usai, aku harus beranjak, pikirku tak benar. Aku hanya manusia, tak pantas aku berkata, "Tuhan, takdirkan begini, pasti itu lebih baik". Hahaha, siapa aku? Hanya manusia yang bahkan untuk sekedar mengedipkan mata pun tak bisa bila Tuhan tidak mengizinkannya.
Sekarang, hari ini, mulai detik ini, kan kucamkan dalam hatiku, dalam pikiranku.
"jika Allah maunya begini, aku bisa apa? Dia tahu yang terbaik bukan?"
Life must go on, Dear. The shows is not end up yet. So, Move! Don't be stuck in one case. Act like what Allah has written about you. There is so many episode that you should play, or This is your last episode??
Who Knows ....
Langganan:
Komentar (Atom)